Lembaga
keuangan mikro syariah (LKMS) didirikan dengan tujuan untuk memberikan dukungan
bagi Usaha Mikro Kecil dan Menegah (UMKM) dalam hal finansial. Lembaga keuangan
mikro syariah diharapkan dapat menjangkau UMKM yang kesulit untuk mengakses
produk pembiayaan bank-bank besar. Untuk itu, lembaga keuangan mikro syariah
memberikan produk pembiayaannya bagi UMKM agar dapat terbantu dalam memecahkan
masalah modal.
Lembaga keuangan mikro syariah memiliki beberapa produk pembiayaan,
yaitu produk pembiayaan mudharabah, pembiayaan musyarakah dan pembiayaan
murabahah. Produk pembiayaan diharapkan dapat berjalan seimbang karena sangat
bermanfaat untuk masyarakat. Namun pada praktiknya, sebagaian besar lembaga
keuangan mikro syariah masih memprioritaskan penerapan produk yang dianggap
aman dan profitable. Lembaga keuangan mikro syariah memang diharapkan
untuk mensejahterakan masyarakat, tetapi disisi lain lembaga keuangan mikro
syariah tidak terlepas dari adanya praktik bisnis yang memperhitungkan untung
dan rugi.
Produk pembiayaan yang menjadi favorit lembaga keuangan mikro
syariah adalah murabahah. Pembiayaan murabahah sangat diminati karena resikonya
kecil dan cenderung profitable. Namun disisi lain, pembiayaan ini hanya
menjadikan nasabah sebagai konsumen penghabis uang karena uang dipakai untuk
hal konsumsi. Sedangkan pembiayaan mudharabah menjadi produk lembaga keuangan
syariah yang porsinya lebih sedikit. Pembiayaan mudharabah memang memiliki
kelemahan tingkat risiko dan kurang profitable. Padahal pembiayan
mudharabah sangat bagus bila lembaga keuangan menerapkannya untuk menjembatani
pengusaha mikro sehingga perekonomian level bawah terangkat. Untuk itu dalam
makalah ini penulis mencoba menguraikan pentingnya pembiyaan mudharabah bagi
lembaga keuangan syariah.
B.
Permasalahan
Pembiayaan Mudharabah di LKMS
Mudharabah adalah suatu kerja sama antara dua pihak dimana pihak
pertama menyediakan dana (shahibul mal) dan pihak kedua sebagai
pengelola dana (mudharib) yang bertanggung jawab atas pengelolaan usaha.
(Muhammad, 2005) Keuntungan mudharabah
dibagi menurut kontrak yang telah disepakati. Jika terjadi kerugian akan
ditanggung shahibul mal selama kerugian tersebut bukan akibat dari mudharib.
Jika kerugian diakibatkan oleh mudharib maka kerugian ditanggung oleh mudharib.
(Sudarsono, 2008)
Pada praktiknya, lembaga keuangan syariah berperan sebagai shahibul
mal dan nasabah peminjam dana adalah sebagai mudharib. LKMS
memberikan kepercayaan penuh kepada nasabah untuk memanfaatkan pembiayaan
mudharabah sebagai modal usaha atau proyek halal tertentu yang feasible.
LKMS dituntut untuk berlaku hati-hati dan selektif terhadap pembiayaan yang
diajukan nasabah. Hal ini menjadi penting karena ketika LKMS melakukan
kesalahan penyaluran dana akan berakibat kerugian finansial. (Ilmi, 2002)
LKMS belum berani mengambil sikap bahwa ujung tombaknya adalah
pembiayaan mudharabah. Hal ini disebabkan oleh keadaan eksternal dan interna
LKMS. Nasabah pembiayaan saat ini masih banyak yang kurang amanah karena
penggunaan dana tidak sesuai dengan kontrak. Selain itu, nasabah sering
menyembunyikan keuntungan ketika akan membayar bagi hasil. (Hadi, 2011) Hal ini
menimbulkan asymmetric information antara LKMS dan mudharib.
(alhikmah.ac.id) Resiko tinggi (high risk) dari calon pengelola
(mudharib) karena adanya moral hazard dan kurangnya kesiapan sumber daya
manusia inilah diantara faktor yang menjadikan komposisi penyaluran dana kepada
masyarakat lebih banyak dalam bentuk pembiayaan murabahah dibandingkan
mudhrabah. (kartikanugraha.files.wordpress.com) Pembiayaan mudharabah
sebenarnya dilandaskan atas dasar kepercayaan. LKMS tidak boleh membebankan
agunan kepada mudharib. Selain itu, lembaga keuangan syariah tidak boleh
mengakui pembiayaan mudharabah sebagai piutang LKMS kepada mudharib karena akan
cacat hukum. Hal ini mengandung arti bahwa pembebanan risiko hanya pada satu
pihak saja yaitu mudharib. (Ilmi, 2002)
Permasalahan moral hazard juga dipengaruhi oleh masalah internal
LKMS yaitu kurang siapnya sumber daya manusia (SDM) yang ada untuk menyalurkan
pembiayaan mudharabah. Hal ini dikarenakan masih banyak SDM yang belum mengerti
tentang hukum akad pembiayaan mudharabah. Rendahnya pemahaman SDM terhadap
pembiayaan bagi hasil akan menyebabkan bankir syariah kurang memberi informasi
tentang pembiayaan bagi hasil. Bankir syariah dengan mudahnya akan menjelaskan
panjang lebar tentang akad jual beli dengan keunggulannya berupa cicilan tetap.
Tapi hal tersebut belum tentu terjadi ketika menjelaskan produk bagi hasil.
Akibatnya calon mudharib minim informasi bahkan bisa salah persepsi (misperception).
Misalnya, menganggap pembiayaan bagi hasil itu ribet. Bahkan bisa saja ada
suatu proyek yang cocok diberikan pembiayaan bagi hasil, tapi karena
ketidakpahaman pada kedua belah pihak, maka diambilah jalan pintas, misalnya
menggunakan skema jual beli alias murabahah.
(kartikanugraha.files.wordpress.com)
LKMS ketika bertindak sebagai pemilik dana, LKMS mengahadapi risiko
yang lebih besar karena belum adanya standar biaya untuk berbagai jenis usaha yang
berbeda. Standar biaya yang berlaku sekarang hanya menyangkut upah minimum
regional sedang untuk biaya operasional lainnya belum ada. Selain itu, tidak
ada lembaga yang membina dan mengawasi nasabah yang berperan sebagai mudharib.
(Hadi, 2011)
Pembiayaan mudharabah jika dibandingkan dengan usaha LKMS dalam bentuk
pembiayaan perdagangan murabahah, bai bithaman ajil, salam, ijarah,
istishna’, usaha pembiayaan dalam bentuk penyertaan modal dianggap lebih
besar risikonya. Karena pada akad mudharabah ini, pihak bank menyediakan semua kebutuhan
modal usaha sedangkan pihak mudharib menyediakan jasa pengelolaan usaha. Sebagai
Shahibu al-Mal, lembaga keuangan syariah tidak dibolehkan turut campur dalam
kegiatan mudharib. Hasil yang diperoleh dari usaha yang dikelola dibagihasilkan
antara lembaga keuangan syariah dengan pengelola dana sesuai dengan porsi yang disepakati
bersama. Ketika terjadi kerugian maka rugi uang ditanggung seluruhnya atau sebagian
oleh bank, sedang pengelola tidak memperoleh bayaran dari usahanya. (Hadi,
2011)
Tingginya resiko inilah yang menjadikan mengapa penyaluran dana kepada
masyarakat yang lebih banyak dalam bentuk pembiayaan murabahah dibandingkan dengan
bentuk pembiayaan mudharabah. Padahal pembiayaan mudharabah berdampak langsung
kepada pertumbuhan ekonomi yang ditandai dengan tumbuhnya peluang usaha, kesempatan
kerja dan peningkatan pendapatan penduduk. (Hadi, 2011)
C.
Alternatif
Pemecahan Masalah
Pembiayaan mudharabah seharusnya menjadi produk LKMS yang lebih
banyak diberikan kepada masyarakat karena dapat memberikan keuntungan untuk
pihak shahibul mal. Hal ini dapat dibuktikan pada penelitian Imam dan Aji yang
menyatakan bahwa pembiayaan mudharabah berpengaruh signifikan terhadap NPF, Return
on Asset, dan Return on Equity. (Buchori and
Prasetyo, 2013) Selain itu, pembiayaan mudharabah juga berdampak positif
teradap aset dan omset mudharib. Hal ini dibuktikan oleh penelitian yang
dilakukan oleh Choiri, Hari dan Ana yang menyatakan bahwa dampak dari
pembiayaan syariah yang diberikan keSeklpada pedagang kecil yaitu meningkatnya
aset, omset penjualan dan laba dalam waktu 4 minggu dengan peningkatan kinerja
yang cukup baik. (Nikmah, 2014) Penelitian yang dilakukan oleh Fitria juga
menunjukkan dari variabel modal usaha, omzet penjualan dan keuntungan dalam UMK
sesudah memperoleh pembiayaan dari BMT At Taqwa Halmahera terbukti mempunyai
pengaruh positif terhadap kinerja UMK binaan BMT At Taqwa Halmahera di Kota
Semarang. (Ananda, n.d)
Berdasarkan penelitian di atas, tentunya LKMS yang masih takut
untuk memberikan pembiayaan perlu melakukan suatu evaluasi terhadap kinerja
terhadap lembaganya. Untuk mengatasi masalah yang di atas perlu adanya suatu
penyelesaian. Ada pun beberapa langkah dalam penyelesaiannya dapat dilakukan
sebagai berikut:
1.
Peningkatan
kualitas sumber daya manusia pengelola LKMS secara berkelanjutan dengan cara
pendidikan dan pelatihan-pelatihan terutama masalah fiqh terutama masalah
penyaluran pembiayaan mudharabah (Ilmi, 2002)
2.
Permasalahan
penyimpangan atau asymmetric information dalam kontrak mudharabah dapat
diminimalisasi dengan cara menetapkan struktur insentif kepada pelaku usaha.
Batasan atau konvenan (syarat) berikut merupakan dari proses meminimalisasi
risiko yaitu dengan melakukan monitoring dan supervisi bank (Feriyanto, 2013)
3.
Penetapan
anggunan berupa fixed asset dan (atau) adanya lembaga penjamin.
Pengenaan jaminan juga akan mencegah mudharib melakukan penyelewengan karena jaminannya yang sudah
diberikan menjadi harga dari penyelewengan perilakunya. Keboleh bagi shahibu
al-mal untuk meminta suatu jaminan
dari amil dapat berpijak pada kaedah usul fiqh yaitu al-maslahah al-mursalah
yang mengacu kepada kebutuhan, kepentingan,
kebaikan dan maslahah umum selama tidak bertentangan dengan prinsip dan dalil
tegas syari’ dan benar-benar membawa kepada kebaikan bersama yang tidak berdampak
menyulitkan serta merugikan orang atau pihak lain secara umum. (Hadi, 2011)
4.
Menetapkan
rasio maksimal biaya operasi terhadap pendapatan operasi. Hal ini dimaksudkan agar
mudharib menjalankan oprasi bisnisnya secara efisien. Bila rasio ini mencapai 100%,
berarti bisnis mudharib tidak menghasilkan keuntungan oprasional. Keadaan ini tentunya
tidak menarik pemilik modal untuk investasi, karena tidak ada yang dibagihasilkan.
Bila rasio ini mencapai 80%, berarti ada marjin keuntungan oprasional sebesar 20%,
keuntungan inilah yang dapat dibagikan kepada pemilik modal. Untuk memastikan
agar mudharib menjalankan bisnis mudharabahnya dengan efisien, maka dapat ditetapkan
syarat agar mudharib harus selalu menjaga rasio ini maksimal, misalnya 80%.
(Hadi, 2011)
5.
Sebelum
memberikan pembiayaan mudharabah, LKSM harus melakukan survey terhadap calon
mudharib guna meminimalisir risiko. Ada 5C + 1S yang harus diperhatikan pada
calon mudharib yaitu (mujahidinimeis.wordpress.com)
a.
Character, yaitu penilaian terhadap karakter atau kepribadian calon mudharib
dengan tujuan untuk memperkirakan kemungkinan bahwa penerima pembiayaan dapat
memenuhi kewajibannya.
b.
Capital, yaitu penilaian
terhadap kemampuan modal yang dimiliki oleh calon mudharib yang diukur dengan
posisi perusahaan secara keseluruhan yang ditujukan oleh rasio finansial dan
penekanan pada komposisi modalnya.
c.
Capacity, yaitu penilaian secara subyektif tentang kemampuan penerima
pembiayaan untuk melakukan pembayaran. Kemampuan diukur dengan catatan prestasi
penerima pembiayaan di masa lalu yang didukung dengan pengamatan di lapangan
atas sarana usahanya seperti toko, karyawan, alat-alat, pabrik serta metode
kegiatan.
d.
Colleteral, yaitu jaminan yang dimiliki calon mudharib. Penilaian ini
bertujuan untuk lebih meyakinkan bahwa jika suatu resiko kegagalan pembayaran
tercapai terjadi, maka jaminan dapat dipakai sebagai pengganti dari kewajiban.
e.
Condition, yaitu LKSM harus melihat kondisi ekonomi yang terjadi di
masyarakat secara spesifik melihat adanya keterkaitan dengan jenis usaha yang
dilakukan oleh calon mudharib. Hal tersebut karena kondisi eksternal berperan
besar dalam proses berjalannya usaha calon mudharib.
f.
Syariah, yaitu usaha yang akan dibiayai harus halal.
D.
Penutup
Pembiayaan
mudharabah jika dibandingkan dengan usaha LKMS dalam bentuk pembiayaan perdagangan
murabahah, bai bithaman ajil, salam, ijarah, istishna’, usaha
pembiayaan dalam bentuk penyertaan modal dianggap lebih besar risikonya. Karena
pada akad mudharabah ini, pihak bank menyediakan semua kebutuhan modal usaha
sedangkan pihak mudharib menyediakan jasa pengelolaan usaha. Risiko pembiayaan
mudharabah ini didapat karena ada masalah dari eksternal maupun internal, baik
itu SDM lembaga keuangan syariah yang belum paham tentang fiqh, moral hazard
nasabah sampai pada biaya operasional. Berbagai permasalahan tersebut dapat
sedikit banyak dipecahkan melalui solusi yang ditawarkan penulis diatas,
sehingga LKMS dapat memberikan pembiayaan mudharabah kepada UMKM sehingga
perekonomian nasional meninggakat.
Belum ada tanggapan untuk "PEMBIAYAAN MUDHARABAH LEMBAGA KEUANGAN MIKRO SYARIAH"
Posting Komentar